Sabtu, 19 September 2009

I Love Allah, really!

Dear, God...
Gak nyangka udh sbulan pnuh mlewati bln pnuh hikmah ini.... Gk tw knp hati gw mrengut sedih mndengar suara takbir idul fitri... Knp bsa gt? Krn gw sedih bgt hrs brpisah dgn Ramadhan dan gw gk tw taun dpn akn brtmu atau gk, hanya Allah yg tau umur seseorg...
Ya Allah, aq sadar bahwa aq bknlah mahluk smpurna, byk klalaian yg sring kuperbuat,dan byk printahMu yg kuacuhkan.... Mohon ampun Ya Allah Yang Maha Besar, aq brsembah sujud padaMU, dan memohon maaf atas smua ksalahan2ku yg kuperbuat slama ini.... Smoga Engkau membukakan pintu rahmatMU padaku...dan memberi ksempatan utk brtemu bln suci tahun dpn dgn mlaksanakannya lbh baik lg...
I Love Allah, really...!

Kamis, 17 September 2009

kak Cantik

"Kak Cantik."
itulah sebutan nama dariku untuknya.
dia seorang laki-laki dengan paras wajah yang lembut dan senyumnya yang hangat selalu membuat hatiku terhanyut saat bertemu dengannya.
eit, tapi bukan berarti dia seorang banci karena dipanggil kak cantik.
dia itu tampan, dan rupawan.
tapi kalau seandainya dia seorang wanita, hmmmm pasti cantik! makanya aku menjulukinya "Kak Cantik" karena dia memiliki wajah yang lembut, putih, bersih dengan senyum yang bikin hatiku klepek-klepek...

aku mulai ada rasa sama dia sejak semester 1, awalnya sih tertarik fisik. tapi lama kelamaan rasa ini semakin menguat. sekarang aku suka bukan karena dari fisik melainkan dari sikap dia yang ramah pada tiap orang, yang alim (rajin solat), yang tidak slengean, pokoknya bla bla bla deh. bisa penuh kalo dijelaskan.

aku takut sekali kehilangan dia. sebentar lagi dia pergi meninggalkan kampus tercinta kami. aku dan dia beda dua tahun. sekarang dia sedang menyusun skripsi sedangkan aku masih satu setengah tahun menyusul skripsi. ya Tuhan, akankah aku bisa bersama2 dengannya lagi?!
aku ingin selalu bersama denganmu kak cantik. ini memang terlalu lebay, tapi aku benar-benar sedih kehilangan dia! dia yang selalu menjadi motivasiku untuk datang ke kampus (hehehe)

kak cantik-kak cantik.... aku selalu mengagumimu.... aku selalu menantimu dan aku selalu mendukungmu (walau dalam hati)

~love u

berusaha menerima keadaan

nggak selamanya manusia berada di atas
nggak selamanya manusia menjadi yang pertama
dan nggak selamanya manusia melengkungkan bibirnya tuk tersenyum...

dulu unggul, sekarang gundul
dulu diatas, sekarang dibawah
dulu tersenyum dalam kenikmatan, skrg tersenyum meratapi kesedihan

oh Tuhan, jangan biarkan hambaMu ini hidup penuh penyesalan
berilah kesadaran bagi kami bahwa hidup ini hanya titipanMu
titipanMu yang hanya sementara...

satu yang aku inginkan sekarang...
untuk bisa menerima keadaan!
itu saja, tidak lebih!

menggapai mimpi

terhanyut dalam mimpi yang selalu membuatku melayang
terjebak dalam angan-angan...
meraih...
menggapai...
semakin jauh...
semakin sunyi...
lelah rasanya...
sumpek melihatnya....
aku....
masih di sini.....

Drama kocak (saduran dari cerita cinderella)

Pemain:
Margie Ririasyuni
Nikmatun Khasanah
Asep Sutrisna
Fitriana Husnul Khotimah
Eduardus Fondi
Hifziah Apriani








Cinderella adalah seorang gadis yang cantik jelita. Namun, dia kehilangan orang yang sangat dicintainya yaitu ibunya. Ketika ayahnya menikah dan pergi meninggalkannya, hidupnya semakin menderita. Dia selalu diperlakukan seperti pembantu oleh ibu dan saudara tirinya.
Pada saat itu, Sang Ratu mengadakan acara pesta dansa untuk mencari jodoh untuk Pangeran. Cinderella ingin sekali pergi ke pesta itu, namun ibu dan saudara tirinya tidak menijinkannya. Tapi dengan bantuan peri, Cinderella bisa pergi ke pesta itu dengan syarat kembali ke rumah sebelum jam 12 malam karena setelah jam 12 malam keajaiban itu akan hilang.
Setelah jam 12 malam, Cinderella meninggalkan istana. Namun, tanpa sengaja, dia meninggalkan sepatu bot kesayangannya. Pangeran yang sudah jatuh hati padanya, mengadakan sayembara barang siapa yang ukuran kakinya pas dengan sepatu bot istimewa tersebut, akan menikah dengannya.
Ketika Cinderella mencoba sepatu bot istimewa tersebut, ternyata cocok dan Cinderella juga mempunyai pasangan sepatu bot yang lain. Pangeran pun langsung melamar Cinderella. Setelah itu, Pangeran membawa Cinderella ke istana. Namun, cerita itu belum selesai.
Ketika Sang Pangeran membawa Cinderella ke istana . . . .
(Di arena sudah ada Ratu dan Putri Irakus yang sedang duduk di kursi. Cinderella dan Pangeran masuk ke arena)
Ratu : (berdiri lalu menunjuk Cinderella) Siapa perempuan ini, Pangeran?
Pangeran : Ini adalah wanita yang akan menjadi istriku.
Ratu : Kau yakin memilih wanita seperti ini?
Pangeran : Ya, kami sudah saling mencintai. (Cinderella dan Pangeran saling bertatap muka, berpegangan tangan, dan tersenyum.)
Ratu : Apa? Kau pilih perempuan seperti ini yang tampang pembantu? Apa kata Bu Nia?
Cinderella : Apa kata dunia, Ratu.
Ratu : Ya. Itu maksudku.
Pangeran : Walaupun penampilannya seperti pembantu, tapi hatinya seperti emas 24 karat.
Ratu : Kau bilang hatinya seperti emas karatan? Tapi Pangeran. Bunda sudah menemukan pasangan yang cocok untukmu Pangeran. Dia adalah putri dari Kerajaan Jatuh Bangun.
Pangeran : Tapi Bunda . . . .
Ratu : Dia adalah wanita yang sangat cantik. Lagipula dia adalah wanita yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Apabila kerajaan kita bersatu dengan Kerajaan Jatuh Bangun, akan menjadi kerajaan yang sangat besaaar.
Pangeran : Tapi aku sangat mencintainya, Bunda.
Ratu : Tidak boleh! Pokoknya kau harus menikah dengan Putri Irakus.
Pangeran : Hah? Irakus? Nama yang aneh. Tapi aku tetap tidak mau.
Ratu : Harus mau!
Pangeran : Tidak mau!
Ratu : Pokoknya harus!
Pangeran : Gak mau!
Ratu : Harus!
Pangeran : Mau. Eh tidak mau!
Ratu : Dasar anak durhaka kau!
Pangeran : Lho, kok jadi kaya Malin Kundang?
Ratu : Kurang ajar kau! Sudah membantah perintah orang tua! (Ratu hampir menampar Pangeran)
Raja : (masuk ke arena) Stop..!! Ada apa ini? Siapa perempuan itu? (menunjuk Cinderella)
Pangeran : Ini adalah calon istriku, Ayahanda.
Raja : Oh, ini calon istrimu. Jadi perempuan ini yang memenangkan sayembara sepatu bot itu.(sambil melirik sepatu bot yang dipakai Cinderella)
Pangeran : Iya, Ayahanda. Dia bahkan mempunyai pasangan sepatu bot yang lainnya.
Ratu : Tapi aku sudah menemukan jodoh buat Pangeran! Dia adalah putri dari Kerajaan Jatuh Bangun.
Raja :Ya sudah. Itu terserah Pangeran saja!
Ratu : Tapi, Raja. Aku tidak setuju dengan keputusanmu. Masa Pangeran menikah sama pembantu seperti itu. Jangan gila donk!
Raja : (berfikir sejenak) Ya. Sudah. Bagaimana kalau kita adakan suatu kompetisi?
Putri Irakus : (berdiri) Kompetisi seperti apa, Yang Mulia?
Raja : Kalau kau menang dalam kompetisi itu, kau yang akan menikahi Pangeran. Kalau perempuan itu yang menang, dia yang akan menikah dengan Pangeran. Ada yang tidak setuju dengan kuputusanku?
Ratu : Lagi-lagi kau memberikan keputusan yang aneh! Setelah kau dan Pangeran mengadakan sayembara sepatu bot aneh itu!
Putri Irakus : Baiklah kalau begitu, saya terima, Yang Mulia.
Ratu : Apa? Kau terima tantangan aneh itu?(marah)
Putri Irakus : Sudahlah Bibi. Saya bisa bersaing secara sportif.
Ratu : Apa?? Kau panggil aku Bibi? Memangnya aku bibimu apa? (semakin marah)
Putri Irakus : Oh! Maksudku Ibunda Ratu. Lagipula saya yakin saya bisa mengalahkan perempuan itu.
Cinderella : (mengacungkan tangan) Maaf, yang Mulia.
Raja : Ada apa, Nona? Kau tidak setuju dengan keputusanku?
Cinderella : Saya setuju dengan keputusan Yang Mulia.
Raja : Lalu, kenapa kau mengacungkan tangan?
Cinderella : Sebenarnya, saya keberatan dipanggil dengan sebutan perempuan itu. Saya kan juga punya nama.
Raja : Oh ya. Kau belum memperkenalkan diri. Siapa namamu?
Cinderella : Namaku Cinderella.
Ratu : Cinderella? Gadis cerobong asap. Nama yang paling aneh yang pernah kudengar. Lihat dirimu! Kau memang pantas mendapatkan nama itu!
Cinderella : Sebenarnya itu cuma nama panggilanku saja. Nama itu diberikan oleh ibu dan saudara-saudara tiriku yang selalu jahat padaku.
Ratu : Alaah! Pake curhat segala!
Raja : Kalau begitu, siapa nama aslimu?
Cinderella : Tapi, nama asliku terlalu panjang.
Raja : Sebutkan saja
Cinderella : Nama asliku adalah Mocu Claudia Abraba Bella Sintia Cornelius Protectus Alfonso Equil Da Barbara Margaretha.
Putri Irakus : Tapi, namaku juga tidak kalah panjangnya dengan Cinderella. Aku bisa menyebutkannya sekarang.
Raja : Stop! Kenapa kita jadi mempeributkan nama?
(semua terdiam sejenak)
Raja : Bagaimana denganmu, Pangeran? Kau setuju?
Pangeran : Apapun keputusan Ayahanda, aku setuju.
Ratu : Apa? Kau terima juga keputusan aneh itu? Sedangkan kau membantah perintahku?
Raja : Oke! Kalau begitu, kompetisi dimulai besok pagi pukul 9.00 sampai dengan selesai.
Ratu : Tapi, kompetisi seperti apa baginda?
Raja : Kompetisi yang akan di adakan adalah… Kompetisi “Cerdaaaas Cerrrrmat”
Raja : Pengawal,,, cepat kau cari perlengkapan untuk kompetisi besok. Cepaaaaaaaatt!!!
Pengawal : Ba… Baik Baginda Raja.

(Keesokan harinya,, tibalah saat kompetisi itu dimulai)

Raja : baiklah para peserta yang wajahnya aneh-aneh ,,
Kompetisi akan segera dimulai
Para Peserta : baik tuan raja,,,
Raja : pertanyaan pertama, dimanakah letak Ibukota Perancis,,,?
(Cinderela dan Putri Irakus saling mengacungkan tangan, raja pun bingung, namun Ratu mendesak sang raja untuk memilih Putri Irakus agar putri irakus menjawab terlebih dahulu)
Raja : Yo wes, koe lah sing jawab.
Putri : Jakarta Utara sebelah Monas yang Mulia.
(Cinderela dan Pangeran tertawa)
Pangeran : sembarangaan, mukamu dah sembarangan ngomongnya sembarangan,,,,
Dasar manusia sembarangan
Raja : sudah sudah jangan ribut, Pertanyaan kedua : siapa yang menandatangani perjanjian Linggar Jati?
(Cinderela mengacungkan tangan)
Raja : ya, kamu.
Cinderella : saya tau, tapi Raja, orangnya kan sudah mati, kata mama orang mati tidak boleh di omongin.
Raja : ya sudah jawab saja,,?
Cinderella : hmmm, tapi….
Raja : Tapi opo?
Cinderella : Saya lupa, yang Mulia. (Sambil cengengesan)
Raja : healah, kenapa kamu angkat kakimu tadi,,?
Cinderella : Itu tangan saya raja
Raja : oh, itu tanganmu toh? saya pikir itu kakimu?
baiklah ini pertanyaan yang terakhir, Siapa nama Bapak Tuanku Imam Bonjol?
(tak ada satupun peserta yang berani menjawab, Raja bingung dan terpaksa memiih Cinderela)
Cinderella : saya tidak tahu paduka Raja. Saya kan bukan anaknya dia. Kenal juga enggak, maka dari itu mana mungkin saya bisa jawab
Raja : Apakah kau bisa menjawab Putri Irakus,,?
Putri Irakus : Tentu saja aku bisa sang Raja. Tunggu sebentar Baginda, Aku tau jawabannya,
Hm, hm, hmmmm apa ya?
(karena terlalu lama menjawab, waktupun habis dan akhirnya tidak satupun yang menang daam kompetisi itu)
Raja : Aku menyesal mengadakan kompetisi ini. Tidak ada satupun diantara kalian yang dapat menjawab dengan benar. Kalau begitu dengan berat hati saya mengumumkan, tidak ada satupun diantara kalian yang akan menjadi calon untuk pengeran.
Cinderella dan Putri Irakus saling bertatap bingung : Hah? Lantas bagaimana dengan nasib kami paduka raja?
Raja : Itu urusan kalian, memangnya aku ini bapakmu? Sebenarnya aku sudah mempersiapkan jodoh untuk pangeran. Ya, hitung-hitung untuk cadangan kalau kalian berdua gagal dalam sayembara ini.
Cinderella dan irakus : Siapa orang itu, Raja?
(Raja memanggil sosok seorang perempuan dengan menepuk tangannya. Lalu tibalah sosok itu di tengah-tengah mereka)
Raja : inilah jodoh pangeran (sang gadis bercadar muncul tiba-tiba, dan berakhirlah cerita ini). (Cinderela dan Putri Irakus saling bertatap muka kembali lalu menepuk dahi)
Cinderella dan Putri Irakus : Walah, gagal maning, gagal maning. piye toh??????

~End~

Cerpen (Mr. Kriwil)


Pernah baca novel "Nyamar? nggak lagi deh..." yang pernah terbit di Grasindo pada akhir tahun 2006. untuk memuaskan pembacanya, cerita ini dikembangkan oleh pengarangnya dan ditulis kembali dalam bentuk Cerpen seperti yang sekarang ini.

Cerpen ini bisa dinikmati baik oleh yang belum pernah membaca versi novelnya, maupun oleh mereka yang sudah pernah membacanya. karena walaupun pada dasarnya inti cerita sama, tetapi tokoh dan jalan ceritanya diubah menjadi lebih mengasyikan.

Selamat membaca teman-teman!



Mr. Kriwil

Oleh Margie R.



Namanya Rivano Prayogha, biasa dipangil Vano dan dia baru pindah dari Bandung. Sementara, pada saat Vano memperkenalkan diri, terdengar bisikan cewek-cewek yang menilai dia dari tampangnya. Dia memang memiliki wajah yang nyaris sempurna, dengan rambutnya yang kriwil-kriwil ala Lee Min Hoo didrama asia ‘Boys Before Flower’. Postur tubuhnya juga proporsional. Gimana enggak bikin cewek-cewek itu terhanyut, coba?!

Gosip tentang adanya anak baru di kelas sebelah pun tersebar sampai kelas gue. Gue jadi penasaran sama tuh orang. Lalu diam-diam gue intip kelas XI IPA 1 itu dari jendela, gue perhatiin satu persatu murid-murid yang lagi ngikutin pelajaran Bioligi bu Elly. Dan akhirnya... ketemu! Mata gue tertuju pada cowok yang sedang duduk dibarisan paling belakang. Dia terlihat sedang asyik mendengarkan musik di i-podnya.

Ketika istirahat, Vano si anak baru itu sedang berjalan ke arah kantin disertai teman-temannya. Nggak sengaja gue berpasasan dengan dia. Tiba-tiba aja gue ikut terhanyut saat melihat lesung pipinya yang begitu manis ketika dia sedang tersenyum dengan teman-temannya. Saking terhanyutnya sampai-sampai gue gak sadar kalau dari tadi ada orang yang panggil-panggil nama gue.

“Van... Vanessa!” teriak Sabrina.

Sabrina adalah sahabat gue. Gue dan Sabrina memiliki kesamaan yang khas yaitu sama-sama cewek... (ya, iyalah... nenek-nenek pikun juga tau). Tapi kita memiliki perbedaan. Sabrina itu girly sedangkan gue tomboy.

“Eh, di kelas lo ada anak baru ya?” tanya gue sembari melahap roti yang gue bawa.

Sabrina mengangguk kecil. “Namanya Vano. Baru pindahan dari Bandung.”

“Ow...” gue membulatkan bibirku dan kembali berkata, “lumayan juga.”

Sabrina tersentak. “Hah. Lumayan? Cowok aneh kayak gitu lo bilang lumayan?”

Gue mengernyitkan dahi. “Aneh gimana maksud lo?”

“Ya, aneh aja. Apalagi rambutnya tuh yang kriwil-kriwil kayak mie basi. Igh, nggak banget deh!”

Gue tertawa kecil. “Justru rambut kriwilnya itu yang bikin dia jadi.... gimana gitu! dan menurut gue dia nggak terlihat aneh kok justru terlihat... cool.”

Sabrina melongo mendengar pujianku terhadap Vano.

“Agh, udah deh, kok jadi ngomongin dia sih?! jangan-jangan lu naksir yaaaa?”

“Hah. Ng... ng... nggak kok.” kontan gue langsung gelagapan.

Sabrina melihat gue dengan pandangan curiga. “Halaaahhhh.... ngaku lo,”

“Hehehe.... sedikit.”

***

Sudah beberapa minggu terlewati dan beberapa minggu juga Vano bersekolah disekolah gue. Mungkin gue gak tahu dan gak ngerti sama perasaan gue saat itu. Antara suka atau nggak, atau hanya sekadar kagum. Tapi kalau gue bener-bener suka, apa ini yang disebut orang: jatuh cinta pada pandangan pertama?

Bip... Bip... ponsel gue berbunyi. Menunjukkan pesan masuk dari Sabrina yang berisi kalau dia sudah memiliki nomor hape gebetan gue. Vano.

Melihat nama Vano, gue langsung beranjak dari tempat tidur dan segera menelepon Sabrina.

“Sabrinaaa.... mana nomer hape Vano yang gue minta kemarin?” tanya gue gak sabar.

“Woy napsu banget lo. Sabar napa?!”

“Hehehe... cepetan-cepetan...”

Setelah lima menit kemudian, gue menutup telepon sambil senyam-senyum nggak jelas. Gue save nomer hape Vano dengan nama ‘Mr. Kriwil’.

Selanjutnya gue memikirkan langkah untuk berkenalan dengan dia dan akhirnya gue memutuskan untuk berkenalan dengan cara menyamar sebagai orang lain. Sungguh hal yang bodoh dan memalukan.

***

Pertama kenalan dengan Vano lewat SMS dan menyamar sebagai cewek bernama Vanya, berjalan dengan mulus selama seminggu ini. Gue semakin menikmatinya karena ternyata gue sama dia dari awal udah nyambung ngomongin ini-itu. Sedikit nyesel sih, tahu gitu kenapa gue nggak ngaku sebagai Vanessa, malah sebagai Vanya. Cewek kelas X, bersekolah di salah satu SMA Negeri di bilangan selatan Jakarta, dan memiliki kepribadian girly dan manja. Sangat bertolak belakang dengan gue. Tapi, nggak apa-apa deh, yang penting gue bisa kenalan dan dekat dengan dia.

Tulilut.... Tulilut... tiba-tiba ponsel gue berbunyi, menunjukkan ada panggilan masuk dari Mr. Kriwil.

Gue terkejut seketika melihat layar ponsel itu berkedap-kedip. Gimana nggak terkejut, gue lagi ada di dalam kelas, terlebih lagi disebelah gue ada Tara, cewek bermulut ember dari gank centil di sekolah yang gayanya... nggak banget.

Gue masih melihat layar ponsel gue dengan jelas dan darah gue mendadak beku.

Tara mendekati gue. Ditatapnya gue dengan heran. “Vanessa, ada yang telepon kamyu tuh, kok nggak dijawab sih?” tanyanya sok imut.

Gue hanya duduk mematung. Dunia seakan hening seketika. Untuk beberapa detik yang menegangkan, akhirnya ponsel gue berhenti berbunyi, terlalu lega dan bingung untuk bersuara. Tanpa sadar gue berbisik. “Untung telepon dari Vano udah mati.”

“Hah. Vano? Vano siapa, Van?” tanya Tara penasaran.

Gue memaksakan seulas senyuman. “Bukan siapa-siapa kok.”

Ternyata kayak begini perasaan orang kalau lagi menyimpan kebohongan Pasti selalu dihantui rasa bersalah, cemas, takut, was-was, deg-degan, semuanya jadi satu dalam pikiran.

***

Malam harinya gue kirim SMS untuk Vano sebagai tanda perminta maaf gue karena tidak mengangkat teleponnya tadi siang. Tapi dia nggak balas SMS itu.

Gue udah coba telepon, tapi nggak diangkat. Lalu gue kembali mengetik sebuah pesan untuk sekian kalinya.


To: Mr. Kriwil

Hi, Vano... Lg aPa? KoK sMs aq dari td gK d’baLes2 c? Lg sibuk yaAa?




Gue kirim SMS itu dengan harapan Vano mau membalasnya.

Sepuluh menit....

Dua puluh menit....

Tiga puluh menit...

BLANK! Gak ada balasan dari Vano.

Entah kenapa, gue merasa stres memikirkannya. “Ya Tuhan, kenapa dia nggak balas SMS gue? Apa jangan-jangan dia marah atau udah tau lagi tentang penyamaran gue? Aduuuh gimana dong?” gue bergumam sendiri dengan hati gelisah.

Satu jam kemudian, gue mematikan lampu dan menarik selimut untuk beranjak tidur, ketika mendengar suara ponsel berbunyi, gue kembali menyalakan lampu sambil melirik layar ponsel. Panggilan masuk dari Mr. Kriwil.

Vano? Teriak gue dalam hati dan segera menjawab teleponnya.“Halo.”

“Halo, Vanya? Lagi ngapain nih? Belum tidur kan?” tanya Vano disebrang sana.

“Hm, belum. Kenapa, Van?”

“Nggak pa-pa. Aku cuma kangen aja denger suara kamu.”

Gue tersentak dan berusaha untuk tenang.

“Hm, Vano aku mau minta maaf soal,”

Belum sempat gue selesai ngomong, Vano langsung menyambar. “Iya, nggak pa-pa kok. Aku nggak marah. Nyantai aja, say.”

Lagi-lagi gue tersentak. “A... apa?”

Vano tertawa kecil. “Kamu nggak suka ya aku panggil say?”

Gue tersenyum malu. “Mmm, nggak pa-pa kok.”

“Kamu kenapa sih, Vanya? Kayaknya malam ini kamu aneh banget. lagi ada masalah? Cerita dong, sapa tau aku bisa bantu kamu.” ujar Vano perhatian.

“Hm, nggak kok. aku nggak pa-pa.”

“Yang bener? Aku tuh tau kamu lagi,”

DEG!

“Tau aku?” tanya gue kaget.

Ya Tuhan, Jangan-jangan dia sudah tahu kalau gue Vanessa. Anak kelas XI IPA 2. Sahabatnya Sabrina.

“Iya, aku tau kamu... kamu itu kan biasanya ceria, bawel dan suka bercanda kalo di telepon, tapi kok sekarang jadi letoy sih.”

Gue menarik napas lega. “Huhft, kirain tau apa...” kata gue sembari tertawa kecil.

“Van,”

“Ya?”

“Kamu udah makan belum?” tanya Vano lagi-lagi ngasih perhatian buat gue.

“Hm, belum.”

“Kok belum sih? makan dong, ntar sakit lho.”

Gue gak menjawab karena terlalu happy mendengar kata-kata Vano yang sangat perhatian.

“Van,” panggil Vano kembali.

“Ya?”

“Hmm, kita kan udah kenal hampir seminggu lebih, masa belum ketemuan sih sampai sekarang.... Emang kamu nggak penasaran sama aku? Kalau aku sih penasaran banget sama kamu dan aku pingin banget kita bisa ketemu.”

DEG!

“Gimana? Kamu mau nggak ketemuan sama aku?” tanya Vano kembali.

Gue gak menjawab. Sibuk dengan pikiran.

“Halo, Vanya? Kamu nggak pa-pa kan?” tanya Vano sedikit khawatir.

“Hah. Ng, nggak. Aku gak pa-pa.” jawab gue gelagapan.

“Terus kenapa diam?”

Lagi-lagi gue gak menjawab.

“Wah, jangan-jangan kamu senang banget ya, aku ajakin ketemuan?” ledek Vano.

“Mmm,”

“Apa? Kamu bilang apa?”

Gue ragu menjawabnya, lalu gue mantapkan hati untuk berkata. “Ya, aku seneng kok kamu ajakin ketemuan.” jawabku terpaksa.

***

“Apa? Dia ngajakin lo ketemuan?” pekik Sabrina.

Gue mengangguk pelan.

Kami berdua sedang mengobrol di kantin. Ketika gue memberitahu Sabrina tentang Vano yang mengajak gue ketemuan besok malam. Ternyata Sabrina kelihatan lebih terkejut dari yang gue kira.

Sabrina mengempaskan tubuh ke kursi dan mendesah. “Terus lo terima ajakan dia?”

Gue mengangguk kembali.

Sabrina meringis sebal. “Lo bego atau tolol sih, Van? Jelas-jelas lo nyamar sebagai Vanya buat kenalan sama Vano, eh pas dia ngajakin Vanya ketemuan, lo terima gitu aja tanpa mikir resikonya apa?! Aduuhhh, gak kebayang deh kalo dia tau dan marah-marah sama lo nanti!” cerocos Sabrina tiada henti.

Gue tertunduk dan bergumam. “Terus gue harus gimana? Gue udah terlanjur bilang iya sama dia.”

Sabrina mendengus pelan. “Gue juga bingung, Van.”

Sabrina yang cuma tahu masalah gue aja ikut bingung, gimana gue? Ya Tuhan, sekarang gue harus gimana? batin gue berharap Tuhan mau menolong.

“Aha!” teriak Sabrina. “Gue punya ide!”

Gue tersenyum senang. “Ide lo apaan, Brin?”

“Hm, gimana kalo lo bayar orang buat ngaku sebagai Vanya?!”

“Haaaah. Bayar orang?!”

Sabrina mengangguk mantap. “Itu cara yang ampuh buat menyelesaikan masalah! Gimana? Keren kan ide gue hahaha...”

Untuk sesaat gue berpikir kalau Sabrina sedang kerasukan karena idenya ngelantur banget.

“Hei, Van! Kok diam sih? gimana ide gue?” tanya Sabrina.

Gue memaksakan seulas senyuman. “Ide lo sama sekali nggak ngedukung.”

“Lho, nggak ngedukung gimana? Jelas-jelas itu ide brilliant! Kita tinggal nyari orang lain dan suruh dia buat ngaku sebagai Vanya. Yaaa... palingan sekitar satu sampai tiga jam gitulah buat ketemuan sama Vano, terus kita bayar deh, beres kan?”

“Apanya yang beres?! Ntar kalau Vano ngomong ini-itu sama tuh cewek, terus nggak nyambung, gimana? Secara cewek itu kan Vanya palsu. Dan satu lagi, kalo misalnya Vano malah tertarik sama dia, gimana? Resiko gue dong. Sama aja gue nyomblangin Vanya palsu sama Vano. Hhhh nggak rela gue!”

Sabrina tersenyum malu. “Bener juga yah?”

Gue beranjak dari kursi dan hendak meninggalkan Sabrina.

“Van, mau kemana lo?”

“Ke perpus. ngademin pikiran.” jawab gue singkat.

Gue berjalan sendiri menuju Perpustakaan. Ketika sampai di depan perpus, nggak sengaja gue menabrak seseorang yang sedang keluar dari perpus.

Gue terjatuh tersungkur di lantai dan merintih.

Orang itu meminta maaf ke gue. “Ups, sorry, sorry. Lo ngga pa-pa kan? Maafin gue yah, gue nggak sengaja.” kata orang itu sambil setengah membungkuk. Dia seperti hendak membantu gue berdiri.

Gue mendongak, ingin melihat siapa yang menabrak gue barusan. Dan nggak ada satu kata pun yang keluar dari bibir gue saat melihat orang itu.

Oh my God! RIVANO PRAYOGHA! Batin gue tersentak.

Vano mengulurkan tangannya dan membantu gue berdiri. “Maafin gue ya,” ujarnya sambil tersenyum tampan.

Lalu dia merogoh saku celananya dan menyerahkan sapu tangan itu ke gue. “Eh, nggak usah. Gue nggak pa-pa lagi. gue yang salah. Gue yang jalan nggak lihat-lihat.” kata gue sambil tersenyum manis. Padahal, dalam hati gue nervous banget berhadapan dengan dia.

“Nama gue Vano,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Gue tersentak. Ya Tuhan, dia ngajakin gue kenalan? Kali ini kenalan langsung. Bener-bener gak direkayasa.

Gue membalas uluran tangan Vano sambil menyebutkan nama gue.

“Kayaknya suara lo nggak asing ditelinga gue deh.” ujar Vano kemudian.

Mata gue terbelalak. “Hm, gitu ya? mungkin suara gue pasaran hehehe..." padahal dalam hati gue berkata, ya iyalah nggak asing lagi secara lo sering denger suara gue.

***

Gue masuk kamar dengan perasaan yang bahagia banget karena tadi siang di sekolah gue bisa kenalan dengan Vano secara live tanpa bantuan Vanya.

Tulilut... Tulilut... tiba-tiba suara ponsel gue berbunyi, menunjukkan ada panggilan masuk dari ‘Mr. Kriwil’.

“Halo Vanya di sini.” gue menjawabnya dengan ceria.

“Dasar pembohong lo!” semprot Vano.

Aku mengerutkan kening. “Pem... pembohong?!”

“YA, PEMBOHONG! LO ITU PEMBOHONG BESAR! GUE BENCI DIBOHONGIN! GUE... BENCI SAMA LO!!!”

Saat itu gue cuma bisa terdiam dan berusaha menahan air mata. Gue nggak boleh nangis. Nggak boleh! Nggak boleh!

“Gue benci sama lo! Mulai sekarang gue nggak mau kenal sama lo lagi, Vanessa!” bentaknya kembali. Kali ini dia menyebut jelas nama gue. Ya Tuhan, apa itu artinya dia udah tau?!

“GUE BUKAN PEMBOHOOONG! MAAFIN GUE! GUE LAKUIN ITU CUMA BUAT KENAL SAMA LO, BUKAN BUAT NGERJAIN LO! MAAFIN GUE, VANO!” teriak gue.

“Van, woi... Van?! Bangun, bangun... gila lo! Tidur sampe ngigo gitu?!” ujar Sabrina sembari menggoyangkan badan gue.

“Hah?! Ya Tuhan... mimpi?! Mimpi, Brin... gue cuma mimpi... hhh,” kata gue sambil mengatur napas.

“Emang lo mimpi apaan sih?”

Gue lalu menceritakan mimpi gue pada Sabrina.

“Ya, ampun sampai segitunya... ya udah jangan dipikirin yah,” Sabrina langsung memeluk gue.

“Gue takut, Brin. Gue takut kalo mimpi gue jadi kenyataan.” gue merasakan ujung mata gue mulai memanas.

“Eh, bentar deh, gue mau cerita... Tadi pas pulang sekolah, gue kan lagi nongkrong di kantin sama si Somad, terus gue ketemu sama Vano dan dia nyamperin gue gitu. Tapi kenapa ya, Dia malah nanyain tentang lo gitu. Terus nggak tau kenapa gue jadi inget Vanya.” tutur Sabrina, wajahnya terlihat bingung. “Emang dia kenal sama lo sebagai Vanessa?”

Gue mengangguk pelan.

“Hah. Kok bisa? Lo udah ngaku ya?”

Lalu gue kembali menceritakan kejadian tadi siang, di mana gue dan Vano berkenalan.

“Tapi kok dia tau kalo kita sahabatan. Lo cerita juga tentang gue?”

“Enggak.”

Sabrina mengernyitkan dahi. Bingung.

Entah kenapa perasaan gue saat itu gelisah seketika. Ini memang bukan yang pertama kalinya gue merasakan seperti ini, tapi gue yakin ini bukan gelisah biasa.

***

Pukul 21:00... Kegelisahan gue terungkap sudah.

Gue melamun di kamar, sambil memandangi ponsel. Tak ada SMS dari Vano satupun. Gue bingung, kenapa cowok itu seharian ini nggak ngasih kabar seperti biasanya.

Bip... Bip... tak lama terdengar nada dering SMS.


From: Mr.Kriwil

Van, tolong tlp aq! Ada yg mau aq bicarain.


GUBRAK!

Gue segera memencet nomer telepon Vano.

Tut... tut... tut...

nada sambung belum diangkat.

Tut... tut... tut..

“Halo?”

“Halo, Vano? Mau bicara soal apa? Kayaknya penting banget.”

“Ya, penting. Karena ini soal kejujuran.”

Gue tersentak. “Ke.... jujur....an?!”

“Nggak tau kenapa, perasaan aku hari ini kalut banget. Ditambah lagi, aku semakin kalut saat bertemu dan berkenalan dengan seorang cewek tadi siang di sekolah.” lanjut Vano menarik napas panjang. “Nama cewek itu Vanessa.”

JGERRR!

“Kamu tahu nggak waktu aku dengar suara dia, bener-bener mirip sama suara kamu. Nggak tahu kenapa aku jadi penasaran sama dia.” cerita Vano yang berhasil membuat perasaan gue semakin nggak enak.

“Terus pas pulang sekolah, aku cari tau tentang dia, ternyata dia murid kelas IPA 2, sebelahan sama kelasku. tadinya aku niat mau nyamperin dia, tapi sayang dia udah pulang. Dan di sana aku ketemu sama teman sekelasnya, kalau nggak salah namanya... Tara. Terus aku iseng, tanya soal Vanessa sama dia,”

O'ow.... tamat sudah riwayat Vanya!

“Tapi dia nggak ngomong macem-macem sama kamu kan?!”

Vano tertawa kecil. “Kok kayaknya suara kamu ketakutan gitu sih?”

“Hah. Ng, nggak kok. Hehehe... terus-terus? Lanjutin lagi dong ceritanya?!”

“Ya, terus... dia cuma bilang kalo yang namanya Vanessa itu punya sahabat, namanya Sabrina, dan Sabrina itu temen sekelasku.”

Oh, jadi Vano tau gue sahabatan sama Sabrina dari Tara toh...

“Terus ada lagi kejadian yang buat aku kaget setengah mati, Van!”

Aku terkejut. “Oh, ya? apaan tuh?”

“Aku minta nomer hape Vanessa sama Tara, dan kamu tau nggak? pas aku save

nomer Vanessa ternyata nomer itu udah ada di kontak hape aku.”

DWARRR!!!

“dan yang lebih kaget lagi, nomer Vanessa itu tersimpan dihapeku dengan nama... VANYA!” ujar Vano dengan menekankan kata Vanya.

Mata gue terbelalak. Tiba-tiba tangan gue mendadak lemas. Kepala gue merasa pusing, seakan seluruh darah gue mengumpul di atas kepala. Bibir gue bergetar nggak bisa ngomong.

“Kenapa sih kamu mesti bohong? Kenapa? Aku nggak suka dan paling benci dibohongin!!!” semprot Vano langsung.

Gue mencubit pipi. Aw. Sakit! berarti gue lagi nggak mimpi.

Gue berusaha untuk tenang menghadapi kenyataan ini. “Hm, Vano. Maafin aku, biar aku jelasin dulu, ya.”

“Mau jelasin apa lagi, Van? Sekarang semua sudah terungkap! Mau bohong apa lagi kamu?”

“Tapi aku lakuin itu semua karena aku pingin kenal dan deket sama kamu, itu aja.” gue berusaha mengatakan jujur padanya.

“Tapi kenapa harus bohong?!”

“Karena aku minder kenalan sama kamu.” jawab gue lirih dan menahan air mata. “Tapi, jangan dikira aku berperan sebagai Vanya itu enak! justru sebaliknya, sama sekali nggak enak! sakit banget rasanya ketika aku ngelakuin semuanya bukan sebagai diri aku sendiri. Sekali lagi, maafin aku, Vano. Bukan maksud aku untuk ngerjain kamu.”

“Ah, udahlah... aku bener-bener nggak nyangka tau nggak?! Kalo selama ini aku dibohongin sama kamu! Dan aku bersyukur tadi siang udah nabrak kamu, karena kejadian itu aku jadi tau siapa Vanya sebenarnya!”

“Aku mohon maafin aku, Vano.” kata gue dengan perasaan bersalah.

“Mending sekarang lupain aja!” tegas Vano.

"Maksud kamu?"

“Iya! Lupain itu semua! Lupain soal kemarin-kemarin di SMS, di telepon dan semuanya!”

GUBRAK.

“Kita kembali seperti dulu aja. Nggak saling mengenal.”

“Ke... kenapa begitu?”

“KARENA GUE NGGAK MAU KENAL LAGI SAMA LO!”

Ya Tuhan, gue sakit hati dengernya. Dia boleh ngatain gue apa aja! tapi yang satu ini gue nggak terima, dia seenaknya ngomong gitu. gue bener-bener langsung ilfil sama ucapannya. Gue emang jahat udah bohongin dia! Tapi apa dia nggak punya perasaan sedikit pun? Dengan seenaknya ngomong gitu dan nggak mikir kalo itu nyakitin hati gue.

“Oke, kalo itu mau kamu. Aku lupain itu semua, mulai sekarang aku dan kamu nggak saling mengenal.” kata gue langsung mematikan telepon.

Pada saat itu gue bener-bener merasa terpukul, malu, nyesek, sakit hati, sedih, marah, kesel, dan semua jadi satu dalam diri gue.

***

Tiga hari kemudian....

“Kemana aja lo? Udah tiga hari ini lo nggak masuk sekolah.” tanya Sabrina ketika main ke rumah. Dia menatap wajah gue yang pucat. “Lo nggak masuk sekolah bukan karena Vano kan?”

Gue gak menjawab.

“Ya ampun, say... kalo lo nggak masuk cuma gara-gara si Vano, lo tuh payah banget. Ngapain cowok aneh kayak dia dipikirin sampe segitunya banget. hhhh rugi bandar bo!” cerocos Sabrina.

“Sampe sekarang gue masih malu dan belum siap ketemu dia di sekolah.”

“Terus lo mau sampe kapan begini?”

“Sampe semuanya selesai.”

“Bukankah semuanya udah selesai?! Lo udah ngaku dan jujur sama dia, terus apa lagi yang mau lo selesaikan, Vanessa?!” ujarnya gemas.

Gue tertunduk sedih. “Mulai besok gue nggak sekolah di situ lagi, Brin.”

Sabrina terkejut.

“Gue dan keluarga mau pindah ke Bali.”

Sabrina menatapku tak percaya. “Van, lo serius?”

Gue mengangguk pelan.

“Lo pindah bukan karena Vano kan?”

Gue tetawa kecil. “Ya enggaklah. Gue pindah karena bokap di pindahin gawenya ke sana. Jadi, gue dan keluarga ikut pindah bersama beliau.”

Wajah Sabrina tampak sedih. “Kok lo nggak bilang sama gue sebelumnya sih?”

“Maafin gue ya, Brin...” ucap gue merasa bersalah. “Tadinya gue udah nolak untuk ikut pindah ke sana, tapi pas gue pikir-pikir, kayaknya ini jalan yang terbaik buat gue ngelupain Vano dan menghilangkan rasa malu gue sama dia.”

Sabrina meringis. “Yeee, itu sama aja, lo pindah ujung-ujungnya karena dia.”

Gue tersenyum malu. “Ya gitu deh. sedikit.”

Sabrina memeluk gue sambil menahan air matanya. “Ya, udah kalo itu keputusan lo. Tapi lo jangan ngelupain gue ya, dan kita masih sahabatan kan?”

“Ya, iyalah. Masa cuma gara-gara gue pindah, persahabatan kita jadi putus sih. udah ah jangan mewek, jelek luh.”

Sabrina mengusap air matanya, dan gue mengambil beberapa lembar kertas yang tergeletak di meja belajar.

“Tolong kasih ini buat Vano ya,” gue memberikan beberapa lembar kertas itu pada Sabrina.

“Emang ini apaan?”

“Cerpen gue.”

“Cerpen? Sejak kapan lo mendadak jadi penulis?” tanyanya heran.

“Sejak kenal Vano.”

“Haaah... sumpeh lo?”

Gue mengangguk yakin. “Di cerpen itu menceritakan dari awal sampe akhir tentang kisah gue dan Vano. Sekaligus jadi penjelasan konkrit kenapa gue bisa ngelakuin semua itu ke dia. Gue nggak bisa jelasin secara langsung karena dia udah nggak mau ngomong bahkan kenal sama gue lagi. Jadinya gue cuma bisa jelasin lewat cerpen itu, dan gue berharap... dia mau mengerti dan maafin gue.”

Sabrina tersenyum haru. “Kalo gue jadi Vano dan baca tulisan ini, gue pasti akan menyesal udah nyakitin hati lo kemarin, dan gue bakalan ngejar lo untuk bilang, jangan pergi Vanya, eh, Vanessa.”

Gue tertawa geli. “Itu kan lo, bukan dia... udahlah jangan lebay.”

“Btw, cerpennya cuma buat Vano nih? Buat sahabat lo yang cantik mana? Gue kan turut andil dalam cerita ini,”

“Tenang aja. gue udah save di CD kok, jadi lo tinggal print sendiri hehehe...”

“Thanks, say... gue bakal simpan cerpen ini buat kenang-kenangan seumur hidup.”

Aku bersungut lalu tersenyum lagi. “Dasar Miss. Lebay!”

***

Sebulan Kemudian....

Di Bali gue juga mendapatkan teman-teman yang baik. Gue bener-bener bersyukur karena di sini gue berhasil menghibur diri dan melupakan mahluk bernama Rivano.

Bip... Bip... suara ponsel gue berbunyi menunjukkan ada pesan masuk dari Tara. Gue membuka pesan itu dengan hati bertanya: tumben-tumbennya Tara SMS gue. Ada apa ya?!


Hi, Van... how are u? gw udh baca cerpen lo di blog n majalah xxxxxx lho!

jujur, gw salut sama lo dan gag nyangka seorang Vanessa yang males sama plajaran bhs Indonesia bisa jadi penulis. Wow... surprise bgt buat gw dan tmn2 dsini. Selamat ya say!

Gw tnggu karya2 lo berikutnya... miss u ^.^


GUBRAK! Penulis?

Tak lama kemudian ponsel gue kembali berdering. Menunjukkan ada panggilan masuk dari Sabrina.

“Halo, Vanessa? Gue cuma mau bilang, lo buru deh beli majalah xxxxxx minggu ini. Soalnya ada rubrik penting yang harus lo baca. Pokoknya wajib beli! Oke deh, udah dulu ya, byeeee....”

KLIK. Telepon ditutup begitu saja.

“Nggak jebo banget sih Sabrina.” gue beranjak dari tempat tidur dan menyuruh bibi untuk membelikan majalah itu di tukang koran langganan ayah.

Tiga puluh menit kemudian, majalah yang dimaksud Sabrina dan Tara pun sampai ditangan gue. Perlahan gue buka majalah itu, dan gue perhatiin tiap halaman. Nggak ada yang menarik perhatian gue. Tapi setelah gue membuka halaman tengah, disitu terdapat tulisan: Vanya untuk Vano. Dan dibawahnya terdapat nama penulisnya: Vanessa Octavianny. Ops, setengah mati gue kaget melihatnya. Gue gak merasa mengirimkan cerpen gue kepada redaksi majalah itu.

Bip... Bip... tiba-tiba ponsel gue berbunyi. SMS masuk dari Sabrina.

Say, udh beli majalahnya blm? Hhe... selamat ya, akhirnya cerpen lo yg gw kirim scara tersembunyi dimuat jg, hhi.... seneng deh! maaf ya, gw gak mnta izin dulu sama lo, gw lakuin itu semua krn gw mau buktiin sama si Mr. Kriwil klo lo itu bukan cewek biasa! Biar dy nyesel udah buat lo skt hati! Dan lo tau gag seh, pas dy ngeliat dan ngebaca cerpen lo d’majalah?! Sumpah! Kayak orang bego! Dia melongo kaget! hahaha biar tau rasa tuh cowok, dan semoga dia sadar klo dia udh nyakitin perasaan lo :D btw, trs asah bakat menulis lo ya say! gw siap kok jd manager lo buat krm tulisan lo berikutnya! hehehehe....

Gue menarik napas panjang dan menitikkan air mata. Thanks, Brin... lo emang sahabat gue yang paling baik sedunia.

Bip... Bip... tak lama ponsel gue kembali berbunyi. SMS masuk dari...


Hai, Van... apa kbr? Msh ingt sma aq? Mr. Kriwil ^.^ btw aq udh baca crpen kamu d’majalah. Jujur, aq sempet nggak percaya kalo itu cerita tentang kita. Aq salut bgt sama kamu!

Dan aq sadar kalo kemarin aq udh nyakitin prasaan kamu... maafin aku ya krn udh buat kamu kyk gini. Hm.. semangat ya VANESSA... sampe kapanpun kamu ataupun Vanya gk akn pernah gw lupain! ^.^ oh,ya jgn pgl gw mr.kriwil lg, soalnya rmbut gw udh dbonding lho ha.ha.ha... :D


Gue tertawa geli membaca kalimat terakhir dari Vano. Sekarang, nggak ada lagi kesedihan. Semuanya telah berlalu tanpa air mata. Selamat tinggal Vanya...!

cinta

cinta…
aku memerhatikanmu kembali
dan lagi-lagi kamu membuat degup jantungku
seperti tersambar angin yang begitu menyejukan…

cinta…
aku di sini… memerhatikanmu…
Karena aku selalu ada untukmu
Dan kamu selalu ada dihatiku…

_Love you_